A. Rukun-rukun
Akad
Rukun
adalah unsur-unsur yang membentuk sesuatu, sehingga sesuatu itu terwujud karena
adanya unsur-unsur tersebut yang membentuknya.Bagi mahzab hanafi yang di maksud
dengan rukun akad adalah unsur-unsur yang membentuk akad.[1]
Akad
juga terbentuk karena adanya unsur-unsur atau rukun-rukun yang membentuknya.
Menurut ahli-ahli hukum islam rukun yang membentuk akad itu ada empat yaitu
sebagai berikut :[2]
1. Para
pihak yang membuat akad (al-‘aqidan)
Ialah orang yang
berakad; terkadang terdiri dari satu orang dan terkadang terdiri atas beberapa
orang.contohnya: ahli waris sepakat untuk memberikan sesuatu kepada pihak lain yang
terdiri dari beberpa orang.
2. Pernyataan
kehendak para pihak lain (shigatul al-‘aqd)
Yaitu ijab Kabul.Ijab
ialah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai
gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad.Adapun Kabul ialah perkataan yang
keluar dari pihak yang berakad pula yang di ucapkan setelah adanya ijab.
3. Objek
akad (Ma’qud ‘alaih)
Ialah benda-benda yang
di akadkan contohnya seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual beli,
dalam akad hibbah (pemberian) dan dalam akad gadai.
4. Tujuan
akad (Maudhu’ al-‘aqd)
Yaitu
tujuan atau maksud pokok mengadakan akad.Dalam akad jual beli misalnya dalam
akad jual beli, tujuan pokoknya ialah memindahkan barang dari penjual ke
pembeli. Dan dalam akad hibah misalnya tujuan pokoknya yaitu memindahkan
barang dari pemberi kepada yang di beri
untuk di milikinya tanpa pengganti (‘iwadh)
B. Syarat-syarat
akad
Setiap
pembentukan akad mempunya syarat yang d tentukan syara’ yang wajib d
sempurnakan, syarat- syarat ada dua macam yaitu secara umum dan secara khusus [3]
1) Syarat-syarat
yang bersipat umum yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam
berbagai akad. Syarat-syarat umum yang harus di penuhi dalam berbagai macam
akad sebagai berikut
a. Kedua
orang yang melakukan akad cakap bertindak(ahli). Cakap bertindak disini berarti
orang yang tidak gila,orang yang di bawah pengampunan (mahjur), dan karena boros.
b. Yang
dijadikan objek akad ialah yang dapat menerima hukumnya
c. Akad
itu di izinkan oleh syara’ dilalkukan oleh orang yang mempunyai hak
melakukannya, walaupun dia bukan bukan ‘aqidyang
memiliki barang
d. Janganlah
akad itu akad yang di larang oleh syara’ seperti jual beli mulasamah (saling
merasakan)
e. Akad
dapat memberika faedah, sehingga tidaklah sah bila rahn(gadai) di anggap
sebagai imbangan amanah (kepercayaan)
f. Ijab
itu berjalan terus tidak di cabut sebelum kabul. Maka apabila ada orang yang
menarik ijabnya sebelim kabul, maka ijabnya yang tadi menjadi batal atau tidak
sah
g. Ijab
dan kabul mesti bersambung, sehngga apabila seseorang yang berijab telah
berpisah sebelum adanya kabul maka ijab tadi menjadi batal
2) Syarat-syarat
yang bersifat khusus yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian
akad. Syarat khusus ini dapat juga disebut syara’ idahfi (tambahan) yang harus
ada di samping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam
pernikahan.[4]
Adapun macam-macam
syarat akad sebagai berikut :[5]
a. Syarat
terbentuknya akad (syuruth al-in’iqad)
Masing-masing rukun
(unsur) yang membentuk akad di atas memerlukan syarat-syarat agar rukun itu
dapat berfungsi membentuk akad.Tanpa adanya syarat-syarat yang dimaksud, maka
rukun akad tersebut tidak dapat membentuk akad. Dalam hukum islam,
syarat-syarat terbentunya akad (syuruth al-in’iqad). Rukun pertama, yaitu para
pihak, harus memenuhi dua syarat terbentuknya akad yaitu : (1) tamyiz dan (2)
berbilang pihak (at-ta’adud). Dan rukun yang kedua, yaitu pernyataan kehendak
harus memenuhi dua syarat juga yaitu (1)
adanya persuaian ijab dan kabul, dengan kata lain tercapainya suatu
kesepakatan. Dan (2) kesatuan majelis akad. Rukun ketiga,yaitu objek akad,
harus memenuhi tiga syarat yaitu (1) objek itu dapat diserahkan, (2) objek
tertentu atau dapat di tentukan, dan (3) objek itu dapat ditransaksikan. Rukun
yang keempat yaitu tidak bertentangan dengan syarak.
Syarat yang terkait dengan rukun
akad ini disebut syarat terbentuknya akad (syuruth al-in’iqad) jumlahnya,
seperti yang terlihat di atas, ada delapan macam yaitu :
1. Tamyiz
2. Berbilang
pihak (at-ta’adud)
3. Persesuaiaan
ijab dan kabul (kesepakatan)
4. Kesatuan
majelis akad
5. Objek
akad yang dapat diserahkan
6. Objek
akad tertentu atau dapat ditentukan
7. Objek
akad yang dapat ditransaksikan
8. Tujuan
akad tidak bertentangan dengan syarak
b. Syarat
sahnya akad (syuruth ash-shihha)
Untuk sahnya suatu akad, maka rukun
dan syarat terbentuknya akad tersebut memerlukan unsur-unsur penyempurna yang
menjadikan suatu akan menjadi sah. Syarat-syarat kesahan umum yang berlaku
terhadap semua akad atau paling tidak berlaku terhadap kebanyakan akad, dan
syarat-syarat kesahan khusus yang berlaku bagi masing-masing aneka akad khusus.
Akad yang telah
memenuhi rukunya, syarat terbentuknya akad dan syarat kesahan dinyatakan
sebagai akad yang sah.Menurut ahli hukum Hanafi akad fasid adalah akad yang
menurut syarak sah pokoknya, tetapi tidak sah sifatnya.Maksudnya adalah akad
yang telah memenuhi rukun dan syarat terbentuknya, tetapi belum memenuhi syarat
kesahannya. Akad fasid dibedakan dengan akad batil karena yang terakhir ini
tidak sah baik pokoknya maupun sifatnya, dengan kata lain tidak ada wujudnya
sama sekali.
Ahli-ahli hukum sunni selain hanafi,
tidak memebedakan batil dan fasid. Bagi mereka keduanya sama yaitu sama-sama
merupakan akad tidak sah dan tidak ada wujudnya serta tidak mempunyai
kosekuensi hukum yang berbeda.
c. Syarat
berlakunya akad (syuruts an-nafadz)[6]
Apabila telah memenuhi rukun-rukunya,
syarat-syarat terbentuknya, dan syarat-syarat kesahannya, maka suatu akad
dinyatakan sah. Akan tetapi, meskipun sudah
sah, ada kemungkinan bahwa akibat-akibat hukum akad tersebut belum dapat
dilaksanakan.Akad yang belum dapat dilaksanakan.Akad yang belum dapat
dilaksanakan akibat hukumnya itu, meskipun sudah sah, disebut akad maukuf
(terheti/tergantung).
Untuk dapat dilaksanakan akibat
hukumnya, akad yang sudah sah itu harus memenuhi dua syarat berlakunya akibat
hokum yaitu (1) adanya kewenangan sempurna atas objek akad, dan (2) adanya
wewenang atas tindakan hukum yang di lakukan kewenangan atas tindakan hukum
terpenuhi dengan para pihak telah mencapai tingkat kecakapan bertindak hukum
yang di butuhkan bagi tindakan hukum yang dilakukannya. Ada tindakan hukum yang
hanya memerlukan tingkat kecakapan bertindak hukum minimal yaitu tamyiz. Adapun
tindakan hukum maksimal dimana apa bila tidak di penuhi maka tindakan hukum itu
tidak sah. Anak mumayiz (remaja usia 7 tahun hingga menjelang dewasa) untuk
melakukan akad timbal balik belum cukup kewenangannya walaupun tindakannya sah.
Akibat hukumnya belum bias dilakukan karena masih tergantung kepada ratifikasi (ijazah)
wali dan karena itu akadnya disebut akad maukuf.
Dari pada yang di kemukakan di
atas terlihat bahwa akad yang sah, yaitu yang telah memenuhi rukun, syarat
terbentuknya dan syarat sahnya dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
1. Akad
maukuf,akad yang sah, tetapi belum dapat dilaksanakan akibat hukumnya karena
belum memenuhi syarat berlakunya akibat
hukum
2. Akad
nafiz, yaitu akad yang sah dan dapat di laksanakan akibat hukumnya karena telah
memenuhi syarat berlakunya akibat hukum.
d. Syarat
mengikadnya akad (syuruth-luzum)[7]
Pada asasnya akad yang telah
memenuhi rukunya, serta syarat terbentuknya, syarat sahnya dan syarat
berlakunya akibat hukum – yang karena itu akad tersebut sah dan dapat
dilaksanakan akibat hukumnya - adalah
mengikat para pihak dan tidak boleh salah satu pihak menark kembali
persetuuannya secara sepihak tanpa kesepakatan pihak lain. Namun ada beberapa
akad yang menyimpang dari asas ini dan tidak serta merta mengikat, meskipun
rukun dan syaratnya telah di penuhi.Hal itu disebabkan oleh sifat akad itu
sendiri atau oleh adanya hak khiyar (hak opsi untuk meneruskan atau membatalkan
perjanjian secara sepihak) pada salah satu pihak.
Akad penitipan atau
akad gadai, misalnya adalah akad yang menurut sifat aslinya tidak mengikat,
dalam pengertian salah satu pihak atau keduanya dapat mematalkannya secara
sepihak sewaktu-waktu, dan akibat pembatalan itu tidak berlaku syurut tetapi
berlaku sejak saat pembatalan. Akad penitipan dapat dibatalkan secara sepihak
oleh kedua belah pihat, sementara akad gadai tidak mengikat bagi sebelah pihak
yaitu pada penerima gadai tersebut dimana dia bias membatakannya secara
sepihak, sementara bagi penggadai akad tersebut mengikat.
Akad penanggungan
(al-kafalah) adalah akad yangmenurut sifat aslinya tidak mengikat sebelah pihak
yaitu tidak mengikat bagi kreditor, kreditor dapat membatalkan secara sepihak
namun bagi penanggung (al-kafil) akad tersebut menjadi mengikat sehingga ia
tidak bias membatalkannya secara sepihak tanpa persetujuan kreditor.
Di lain pihak, akad-akad yang di
dalamnya terdapat salah satu jenis khiyar (hak opsi) juga tidak mengikat. Akad
itu dapat mengikat apabila di dalamnya tidak lagi ada hak khiyar. Bebas dari
khiyar inilah yang di maksud dengan syarat mengikatnya akad (syuruthul-luzum)
C. Akibat
hukumnya jika tidak terpenuhi[8]
Akibat hukum dari jika tidak
terpenuhinya rukun dan syarat-syarat akad yaitu sebagai berikut :
a) Apabila
salah satu dari pokok-pokok rukun-rukun akad dan syarat-syarat akad tidak
terpenuhi, maka tidak terjadi akad dalam pengertian bahwa akad tidak memiliki
yuridis syar’I apa pun. Akad semacam ini disebut akad bati
b) Jika
pada syarat kesahan yang empat ini tidak terpenuhi meskipun rukun dan syarat
terbentuknya sudah terpenuhi, akad tidak sah. Akad ini disebut akad fasid.
Menurut ahli hukum hanafi akad fasid adalah akad yang telah memenuhi rukun dan
syarat terbentuknya, tapi belum memenuhi syarat kesahannya.
[1]
Anwar, Syamsul. Hukum Perjanjian Syariah.
PT. Rajagrafindo Persada.Jakarta : 2010. Hal :95
[2]
Rahman Ghazali, Abdul. dkk. Fiqih
Muamalat. Kencana Prenada Media Group. Jakarta : 2010. Hal: 53
[3]
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. PT. Raja Grafindo Persada.Depok :2014.
Hal : 49
[4]
Rahman Ghazali, Abdul. dkk. Fiqih
Muamalat. Kencana Prenada Media Group. Jakarta : 2010. Hal:55
[5]Ash-Shawi, Shalah.Al-Mushlih,
Abdullah.Fiqih Ekonomi Islam. Darul Haq.Jakarta : 2013. Hal : 29
[6]
Anwar, Syamsul. Hukum Perjanjian Syariah.
PT. Rajagrafindo Persada.Jakarta : 2010. Hal :101
[7]
Anwar, Syamsul. Hukum Perjanjian Syariah.
PT. Rajagrafindo Persada.Jakarta : 2010. Hal :104
[8]
Rahman Ghazali, Abdul. dkk. Fiqih
Muamalat. Kencana Prenada Media Group. Jakarta : 2010. Hal:55